Angklung Gubrag Kebudayaan Tradisional Bisa Menarik Pariwisata

Bogor Traffic, Kesenian – Kampung Cipining Desa Argapura, Kabupaten Bogor, menjadi rumah bagi salah satu kesenian tradisional yang sangat keramat dan bernama Angklung Gubrag. Kesenian ini telah mengalami perkembangan sejak zaman dahulu, seperti yang diungkapkan dalam tulisan Juju Masunah pada tahun 2003. Menurut cerita turun temurun, nama “gubrag” sendiri diambil dari kata “ngagubrag” yang berarti jatuh tiba-tiba dan mengeluarkan bunyi mengagetkan. Sebuah kisah musibah kegagalan panen pernah menimpa desa ini, menjadikan angklung ini penting dalam upacara penghormatan kepada “Nyi Pohaci” atau “Dewi Sri” untuk membawa kemakmuran bagi manusia.

Angklung Gubrag dianggap sakral oleh masyarakat setempat, sehingga ritual dengan menghadirkan angklung gubrag dilakukan ketika hendak menanam dan memanen padi. Masyarakat Kampung Cipining memiliki hubungan persaudaraan yang erat karena generasi mereka menikah dengan saudara sendiri, sehingga kesenian Angklung Gubrag telah diwariskan dari generasi ke generasi selama 455 tahun, mencapai tujuh generasi penerus.

Berita Lainnya

Alat musik Angklung Gubrag terbuat dari bambu gombong yang banyak ditemukan di wilayah Jawa Barat, memberikan suara yang lebih nyaring dibandingkan jenis bambu lainnya. Dalam satu rangka angklung, terdapat 3 nada berbeda pada setiap tabungnya. Angklung ini memiliki enam bilah angklung yang diberi nama unik, seperti Bibit, Anak Bibit, Engklok 1, Engklok 2, Gonjing, dan Panembal. Ornamen hiasan yang digunakan dalam angklung gubrag dibuat dari kembang wiru, membedakannya dari angklung tradisional lainnya yang menggunakan bahan seperti daun pelah atau kain perca.

Selain berfungsi sebagai kelengkapan upacara ritual padi, angklung memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Cipining. Mereka mengajarkan pepatah “ulah ngelmu angklung” yang mengedukasi untuk selalu memperhatikan orang tua dan anak-anak. Filosofi Sunda lama yang mendasari penciptaan angklung adalah nilai tritangtu, di mana segala sesuatu di dunia ini memiliki lawan, dan angklung diciptakan untuk menengahi dunia langit dan bawah sebagai tempat yang dihuni oleh manusia.

Perkembangan zaman telah mempengaruhi fungsi Angklung Gubrag, tidak hanya digunakan dalam siklus penanaman padi, tetapi juga pada berbagai acara seperti penyambutan tamu agung, pernikahan adat, dan ritual seren taun. Hal ini terjadi sejak zaman kemerdekaan, terutama dengan program-program pemerintah pada era orde baru.

Namun, perkembangan zaman juga membawa tantangan bagi kesenian Angklung Gubrag. Sebagian masyarakat mulai meninggalkan upacara ritual yang bersifat mistis dan adat istiadat karena dianggap kuno. Modernisasi dalam pembangunan juga berpengaruh terhadap kesenian ini, terutama ketika tempat penyimpanan padi (leuit) mulai digantikan dengan yang lebih praktis. Perubahan sikap masyarakat, proses modernisasi, dan hubungan dengan kebudayaan lain mempengaruhi selera dan penerimaan terhadap Angklung Gubrag.

Meskipun menghadapi tantangan, kesenian Angklung Gubrag tetap dipertahankan sebagai media ritual oleh masyarakat pendukungnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ada juga kelompok yang ingin menghilangkan kepercayaan magis terhadap Nyi Pohaci dan lebih ingin mempertahankan kesenian ini sesuai dengan fungsi awalnya.

Saat ini, di Kampung Cipining Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, terdapat tiga grup angklung gubrag yang mewakili tiga generasi: generasi tua, generasi muda, dan generasi anak-anak. Proses pewarisan kesenian ini berjalan dengan baik karena hubungan keluarga yang erat di antara ketiga generasi.

Di kampung Budaya Sindang Barang Desa Pasir Eurih Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor, pertunjukan angklung gubrag dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Pertunjukan ini dikemas dalam rangka mengangkat nilai sejarah penting Kampung Sindang Barang. Pertunjukan dilakukan oleh sekelompok Ibu-ibu dan para remaja di arena lapang depan leuit dan rumah adat.

Pemain angklung gubrag, dahulu didominasi oleh perempuan karena berhubungan dengan dewi kesuburan, kini telah berubah. Di daerah Jasinga, contohnya, pemain angklung gubrag juga bisa laki-laki dewasa. Perkembangan ini menunjukkan bahwa angklung gubrag terus beradaptasi dengan perubahan zaman dan norma sosial yang berkembang.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan